Apakah Ibn Taimiyyah Bertasawuf? Review Buku #TasawufSalafi Hamdan Magribi
Ketika kami menulis buku kami Sufisme, dan pada Bab VI “Para Pengkritik dan Pembaru”, kami mendapati kebingungan ketika membaca beberapa literatur yang memasukkan nama Ibn Taimiyyah sebagai seorang tokoh dan ulama yang cenderung anti tasawuf. Berbeda misalnya dengan Ibn Jauzi yang dengan terang-terangan mengkritik habis tasawuf melalui karyanya Talbis Iblis.
Meskipun mereka berdua datang dari kalangan Hanabilah, sikap mereka tidaklah sama dengan tokoh dan ulama Hanabilah lainnya yang melihat tasawuf. Misalnya seperti Abdullah Ansari, Ibn Qayyim al-Jauziyah atau bahkan Abdul Qadir al-Jailani yang kesemuanya merupakan mendapatkan tempat tersendiri dalam panggung taswuf dan ikut menulis karya-karya tentang tasawuf.
Buku ini datang pada tahun yang sama tetapi terbit dalam bulan berbeda dengan buku kami Sufisme. Andaikata buku ini terbit terlebih dahulu sebelum buku kami, maka akan menjadi sumber penulisan yang berharga, khususnya pada bagian tasawuf salafi, Ibn Taimiyah ataupun Neo-Sufisme yang kami singgung atau tulis di buku kami.
Review ini akan ditulis dengan penyampaian per bab bukan secara general atau umum untuk memudahkan para pembaca, dan bisa dikatakan—mungkin—seperti ringkasan bab per bab.
BAB I: POLEMIK TASAWUF & SYARIAT
- Pada bagian ini penulis atau Hamdan Maghribi selanjutnya akan ditulis dengan Maghribi, menguraikan beberapa pandangan tentang term atau istilah Salafi pada kajian studi Islam. Salafi sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh penulis, sering mendapatkan pandangan sebagai kalangan yang puritan, radikal dan terorisme. Hal ini pun merembet kepada tokoh yang menjadi obyek penelitian ini, yaitu Ibn Taimiyah. Istilah salafi juga kadang digunakan untuk merujuk kepada ulama mazhab Hanbali atau kalangan Hanabilah. Kalangan Salafi atau Hanabilah sering diidentikan dengan kelompok yang anti dengan tasawuf atau bahkan menjauhinya.
- Mengenai perdebatan kalangan salafi yang simpatik dan keras terhadap tasawuf, Maghribi memberikan beberapa contoh tokoh dari kalangan salafi, seperti Ibn Jauzi (w. 1201), Abd Allah Ansar al-Harawi (w. 1088) dan Ibn Taimiyyah (w. 1328). Maghribi menjelaskan bahwa masing-masing tokoh tersebut setidaknya menulis tentang tasawuf meskipun ada yang bernada kritik dan kompromistis.
- Sementara itu, Maghribi menempatkan Ibn Taimiyyah sebagai pembaru tasawuf (h. 18). Maghribi mengikuti pendapat Rahman bahwa Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn Qayyim sebagai kelompok Neo-Sufisme atau sederhananya Sufisme bentuk baru. Untuk sufisme bisa membaca tulisan kami di IBtimes.
- Yang menarik dari BAB 1 pada buku ini adalah, Maghribi membuka gerbang apa yang disebut sebagai Taymiyyah Studies atau Studi Tentang Ibn Taimiyyah, mungkin ini jarang di Indonesia. Jika kita ingin mengkaji Taymiyyah Studies kita bisa merujuk pada karya-karya Jon Hoover. Maghribi setidaknya membuka gerbang kajian Taymiyyan Studies dengan memberikan beberapa rujukan dan catatan kaki yang merujuk pada beberapa karya yang membahas tentang Ibn Taimiyyah.
BAB 2: TASAWUF DALAM PANDANGAN IBN TAIMIYYAH.
- Ibn Taimiyyah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Maghribi, sangatlah adil dalam menilai Tasawuf. Sebelum Ibn Taimiyyah menulis karya tentang tasawuf, ia terlebih dahulu membaca semua karya-karya tasawuf dari tokoh tasawuf sebelumnya, baru kemudian dia menuliskan ulang dengan pemahamannya dia yang disandarkan dalam Quran dan hadis.
- Ibn Taimiyyah setidaknya—baik dalam bab ini dan bab-bab berikutnya—merekonstruksi atau mendefenisikan ulang dari setiap istilah, ajaran, praktik dari tasawuf itu sendiri. Hal ini didukung dengan penyelidikan Maghribi terhadap karya-karya Ibn Taimiyyah yang membahas beberapa ajaran dan konsep kunci tasawuf.
- Ibn Taimiyah sendiri membagi dua corak tasawuf, yaitu tasawuf masyru: yang mana tasawuf ini berorientasikan kepada syariat. Kedua adalah, tasawuf bid’i atau tasawuf bidah, yang mana ini adalah perkembagan selanjutnya dari tasawuf yang sudah tercampur dengan Batiniyah dan Hululiyah. Dan dari corak tasawuf ini, dalam buku ini dan karya-karya dari Ibn Taimiyah, yang akan menjadi titik dari apa yang disebut sebagai Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah.
BAB 3. BIOGRAFI IBN TAIMIYYAH
Pada bagian ini, Maghribi menggambarkan bagaimana perjalanann intelektual Ibn Taimiyyah yang begitu kompleks. Mulai dari dia berguru, belajar, dan berinteraksi dengan tokoh atau ulama sezamannya.Tidak lupa bagaimana Ibn Taimiyyah berinteraski dengan kalangan sufi sendiri pada abad ke-13. Hal ini penting dituliskan agar mengetahui bagaimana konteks sosial dari pemikiran, karya, tulisan-tulisan fatwa Ibn Taimiyyah pada masa tersebut.
Yang menarik pada bagian ini, Maghribi juga mendiskusikan sebuah artikel dari George Makdisi tentang—kemungkinan—Ibn Taimiyyah yang seorang sufi atau anggota dari sebuah tarekat Qadiriyah. Dari hasil perbandingan dengan literatur , Maghribi menyimpulkan bahwa kesimpulan Makdisi tersebut terlalu berani dan lemah. Karena ada beberapa hal, pertama adalah, Makdisi, sebagaimana disampaikan oleh Maghribi, salah dalam membedakan antara Muhammad bin Abd al-Hadi (w. 1343) yang mana merupakan murid lagsung dari Ibn Taimiyyah dengan Yusuf bin Abd Hadi (w. 1503), yang terakhir terlampau hampir satu abad dari Ibn Taimiyyah. Kedua, mengenai keanggotaan Ibn Taimiyyah dengan tarekat Qadiriyah. Makdisi menyandarkan bahwa Ibn Taimiyyah memberikan komentar pada karya Abd al-Qadir Jailani yang berjudul Futuh Al-Gayb. Kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa karena tidak ada bukti bahwa Ibn Taimiyyah merupakan anggota Qadiriyah dan komentar tersebut adalah bentuk apresiasi dan rasa hormat saja kepada Abd Al-Qadir al-Jailani.
Sekali lagi, dalam buku ini, Maghribi telah membuka gerbang kepada kajian Ibn Taimiyyah atau Taymiyyah Studies. Hal ini dibuktikan pada Bab 3 ini, Maghribi menyajikan beberpa karya-karya dari Ibn Taimiyyah itu sendiri. Maghribi mengulas beberapa karya Ibn Taimiyyah dari segi tema, bahasa, dan gaya dan fokus dari setiap Karya Ibn Taimiyyah. Hal ini juga merujuk pada catatan kaki yang ia tulis yang juga merujuk kepada karya sarjana Taymiyyan yang berasal dari Barat.
BAB 4 : IBN TAIMIYYAH DAN PARA SUFI SUNNI
Buku ini juga menghadirkan pergulatan pemikiran dan respon Ibn Taimiyyah dari kalangan Sufi Sunni (Bab 4) dan Sufi Falsafi (5). Yang dituliskan dari bab ini adalah bagaimana Ibn Taimiyyah merespon pemikiran dan praktik tasawuf baik dari kalangan sunni atau falsafi.
Sebagaimana yang sudah disinggung, bahwa Ibn Taimiyyah ketika merespon suatu pemikiran, maka ia akan mempelajari dahulu pemikiran mereka kemudian memberikan kritik dan menfdefinisikan ulang atau rekonstruksi dari dari pemikiran tersebut. Pada bagian ini hanya dituliskan tiga tokoh saja, yaitu : al-Qusyairi, Abd al-Qadir al-Jilani dan Imam al-Ghazali.
- Al-Qusyairi
Salah satu pendapat al-Qusyairi tentang tasawuf yang mendapatkan respon dari Ibn Taimiyyah adalah tentang sama atau mendengarkan musik. Bagi Ibn Taimiyyah bahwa hal tersebut tidaklah dicontohkan oleh Nabi dan Sahabat. Selain itu Ibn Taimiyyah juga mengkritik pandangan al-Qusyairi tentang hal dan maqamat yang akan dituliskan di bawah.
- Abd al-Qadir al-Jailani
Ada beberapa hal yang dikritik oleh Ibn Taimiyyah terhadap pandangan Abd al-Qadir al-Jailani. Salah satunya adalah tentang etimologi dan terminologi sufi itu sendiri. Yang kedua adalah tentang hubungan murid dan syekh. Bagi al-Jilani setidaknya seorang murid wajib berguru langsung kepada guru, mursyid atau syekh. Tetapi bagi Ibn Taimiyyah, tidaklah harus seorang murid untuk berguru langsung syekh atau hanya mengkhususkan satu guru sufi saja. Karena setiap murid bebas untuk bergur kepada setiap guru sufi yang layak dijadikan guru. [mungkin dari pandangan ini, beberapa praktik tasawuf modern mengkonsepkan suatu pandangan tasawuf tanpa tarekat ?]
- Imam al-Ghazali
Ibn Taimiyyah banyak keberatan dengan beberapa ajaran tasawuf al-Ghazali. Misalnya seperti penggolongan beberapa kategori syatahat atau ucapan nyeleneh dari kalangan sufi ataupun penggolongan jenis syariat seperti syariat lahir dan batin. Selain itu Ibn Taimiyyah juga mengkiritik tentang metode zikir yang tidak lengkap, atau hanya membunyikan dhamir “hu” pada lafaz La ilaha illa Allah. Karena itu merupakan bid’ah dan salah dari segi tata bahasa.
Maghribi mengambil kesimpulan bahwa perbedaan antara al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah adalah perbedaan dalam sisi manhaj. Selain itu, perbedaan suasa sosial politik juga sangat mempengaruhi produk pemikiran baik al-Ghazali atau Ibn Taimiyyah sendiri.
BAB 5: IBN TAIMIYYAH DAN PARA SUFI FALSAFI
Secara umum pada bagian ini, Ibn Taimiyyah hampir tidak menyetujui semua konsep yang berasal dari aliran tasawuf falsafi. Tiga tokoh yang menjadi fokus pada bagian ini adalah sufi besar dari aliran ini ; Abu Yazid al-Bistami, Al-Hallaj dan Ibn Arabi. Masing-masing dari mereka, membeerikan ungkapan ataupun doktrin yang falsafi pada tasawuf.
Al-Bistami dan al-Hallaj terkenal dengan syatahat atau ucapan nyeleneh yang diucapkan oleh mereka berdua. Al-Bistami terkenal dengan ucapannya yang berbunyi subhani atau “maha suci Aku” dan al-Hallaj sendiri terkenal dengan syatahatnya Ana al-Haqq atau “Akulah kebenaran”.
Ucapan seperti itu adalah karena adanya konsep-konsep tasawuf kemudian seperti: fana, baqa, ittihad dan hulul. Tentunya pandangan atau ajaran/konsep seperti itu ditolak oleh Ibn Taimiyyah yang memiliki Epistemologi berbeda dan menyandarkan pada al-Qur’an dan Hadis.
Sementara tanggapan Ibn Taimiyyah kepada Ibn Arabi adalah tentang konsepnya tentang wahdat al-wujud. Konsep ini kemudian terus berkembang dan menyebar keberbagai dunia Islam.
Ibn Taimiyyah sendiri bahkan menuliskan karya atau risalah sendiri untuk mengkritik atau mengomentari tasawuf Ibn Arabi dan ajarannya tentang wahdat al-wujud. Setidaknya ada empat kitab yang ditulis oleh Ibn Taimiyyah antara lain: Ibtal Wahdah al-Wujud wa al-Radd ala Qailin biha; al-Ihtijaj bi al-Qadar ‘ala al-Ma’asi; Kitab Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah Ila al-Arif bi Allah al-Syaikh Nasr al-Manbiji dan Haqiqah Mazhab al-Ittihadiyah aw Wahdah al-Wujud.
Ibn Taimiyyah sendiri ketika mengkritik ajaran mereka sebenarnya adalah mengkritik unsur-unsur filsafat yang berasal dari luar Islam yang dinilai berbahaya. Hal ini juga sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Ibn Taimiyyah ketika mengkritik pemikiran filsuf melalui karyanya yang lain.
BAB 6 : TEMA-TEMA POKOK DALAM TASAWUF
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana Ibn Taimiyyah merekonstruksi konsep,—penulis menyebut bahwa Ibn Taimiyyah mendekonstruksi dahulu kemudian merekonstruksi—ajaran dan praktik tasawuf. Tak heran, jika bab ini memakan sekitar 84 halaman.
Hampir semua konsep, ajaran dan praktik tasawuf pada bab ini direkonstruksi ulang oleh Ibn Taimiyyah sebagaimana yang dituliskan oleh Maghribi. Mulai dari konsep ahwal, maqam, kasyf, ilham, fana, wali, walayah, tawassul, wasilah hingga praktik seperti zikir dan sama.
Untuk mempersingkat bahasan pada bagian ini, disini akan dibahas salah satu tema dari beberapa tema diatas yang direkonstruksi oleh Ibn Taimiyyah.
Salah satu tema atau konsep dari tasawuf yang dikritik oleh Ibn Taimiyyah adalah konsep tentang Wali atau Walayah. Ibn Taimiyyah berangkat dari pernyataann Ibn Arabi yang menyatakan bahwa walayah atau kewalian lebih tinggi dari nubuwwah atau kenabian. Selain itu Ibn Arabi juga yang menyatakan bahwa Wali mempunyai keutamaan dibandingkan dengan Nabi.
Tentunya, hal semacam itu mendapat kritik dari Ibn Taimiyyah ; selain tidak berlandaskan pada al-Quran dan hadis, pernyataan tersebut bertentangan dengan akal pikiran manusia. Selain itu tentang bahwa konsep tentang seorang wali memiliki keutamaan diaatas nabi memiliki kedekatan dengan konsep dari Syiah Ismailiyah-Batiniyah, yang menyatakan bahwa khalifah al-Qaim lebih utama dari Nabi Muhammad.
Terdapat satu konsep yang masih nyambung dengan wilayah atau wali ini dan mendapatkan kritik dari Ibn Taimiyah, yaitu; Karamah dan Mu’jizat. Kesamaa dari konsep ini adalah tentang kejadian luar biasa yang disematkan pada Nabi (mu’jizat) dan Wali (karamah).
Lagi-lagi Ibn Taimiyyah tetap berprinsip pada al-Qur’an dan Hadis. Uniknya sebagaimana yang ditulis oleh Maghribi, Ibn Taimiyyah masih setuju dengan para sufi yang mengakui adanya karamah. Dan menambahkan bahwa karamah bukanlah syarat wajib bagi seseorang untuk agar bisa menjadi wali. Dan karamah sendiri tidak selalu pada diri para wali.
BAB 7: RANCANG BANGUN TASAWUF SALAFI IBN TAIMIYYAH
Bab ini merupakan bab pamungkas dari buku ini. Pada bab ini Maghribi menggambarkan bagaimana Ibn Taimiyyah menyusun konsep tasawuf salafinya.
Bab ini diawali dengan sejarah dan munculnya tasawuf salafi. Maghribi membagi tiga fase dalam pembentukan tasawuf salafi. Pada fase pertama penulis menyebutkan bahwa fase ini dimulai dari Muqatil b. Sulaiman (w. 150 H) yang juga hidup semasa dengan Ja’far al-Sadiq (w. 148 H) Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik (w. 179 H)
Fase kedua dimulai oleh masa Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Maghribi menuliskan bahwa kedua tokoh ini yang bermula menggabungkan konsep antara fikih dan tasawuf. Selain itu, kedua tokoh diambil sebagai fase kedua dalam tasawuf salafi karena pengingkarannya terhadap takwil, yang mana biasanya metode takwil digunakan oleh kalangan sufi falsafi.
Fase terakhir adalah dengan hadirnya Abdullah Ansari al-Harawi. Melalui kitabnya manazil al-sairin Ila Rabb al-Alamin, Ansari dalam beberapa kajian kesejarahan sufisme ditempatkan sebagai peletak dasar dari tasawuf falsafi, yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh Hanbali lainnya.
Bagian dari bab ini adalah berisikan dari Epistemologi Tasawuf dari Ibn Taimiyyah. Dalam hal ini, Maghribi sebagai penulis berusaha merangkum, dan mengumpulkan ide-ide besar dari Tasawuf Salafi dari Ibn Taimiyyah.
Namun sayangnya pada penyampaian atau penulisan ini, terdapat ketidaksamaan atau ketidakcocokan antara yang diuraikan (h. 238—243) dengan tabel pada halaman setelahnya (h. 244) dan tabel yang ada pada Lampiran (h. 5)
Semua yang ditulis pada masing-masing halaman tersebut tidak memiliki antara jumlah dan kaidah yang dituliskan. Mungkin ini ada kesalahan dalam editing buku atau yang lain?
--
Buku ini merupakan buku yang menggambarkan bagaimana Konsep Tasawuf Salafi oleh Ibn Taimiyyah dengan sangat baik, mungkin juga didukung oleh penulisnya yang menyelami hingga palung dalam pemikiran Ibn Taimiyyah atau Taymiyyah Studies. Maka tak heran buku ini masuk ke dalam 10 buku pilihan Mizan tahun 2024.
Mungkin yang ditunggu dari kajian Tasawuf Salafi atau Taimiyyan Studies adalah konsep tasawuf dari murid langsung Ibn Taimiyyah langsung dan yang tokoh yang memberikan syarah atau komentar dari karya Abdullah Ansari, yaitu Ibn Qayyim al-Jauziyah.